Senin, 22 September 2008

Revolusi Papan Bawah

Oleh : Rudi Fofid

Maluku adalah ranah teramat pedih. Semua tragedi pernah berlangsung di sini. Sejarahnya penuh amis darah dan air mata. Tapi seperti puisi kehidupan, orang Maluku selalu mendendangkan kesedihan itu. Mereka meratapi dukacitanya, dalam langgam lagu. Ajaib ! Mereka bak mereguk kebahagiaan dari nada-nada yang melankoli itu.

Padahal, Maluku sebenarnya adalah kepingan surga. Matahari terbit dan tenggelam dengan manis. Lautnya warna-warni. Kadang bergolak bak musik jazz-rock, kadang teduh laksana cairan kaca. Ratusan pulau menyembul, atol-atol cantik. Di tepinya ada hamparan pasir seputih salju selembut sutera. Angin sibu-sibu selalu datang memanja.

Di dalam laut berenang berjibun ikan. Tanpa jaring, jala, kail, bubu, sero, ikan-ikan genit datang sebagai berkah, tadampar di meti-meti. Perempuan dan anak-anak bisa berlomba panen ikan di bibir pantai. Mirip roti manah dan burung-burung dari langit, dalam kisah Eksodus ke Tanah Terjanji.

Cengkih, pala, kayu putih, kayu gaharu, kayu besi, linggua, kenari. Burung bidadari, burung paradise, dan semesta flora-fauna malesiana, moluccana, ambonensis, semuanya bagai pernak-pernik dekorasi yang spektakuler. Indah seperti di Eden.

Berkah Spice Island inilah yang menggoda petualang Christofer Columbus. Meskipun cuma sampai di benua baru Amerika, tapi kegagalan menemukan Maluku telah menjadi sumber inspirasi bagi bule-bule jangkung datang ke mari. Mereka bertaruh menjadi paling mulia berkuasa di puncak supremasi.

Nenek moyang orang Maluku adalah orang-orang tulus. Hati terbuka, tangan terbuka. Sampai-sampai, agama asli pun rela mereka lepas, diganti agama baru. Cengkeh-pala mereka beri, tanah dikasih, sampai-sampai nyawa pun mereka sumbangkan. Politik kapitalisme global masa lalu telah memperkaya Portugis, Spanyol, Prancis, Inggris dan terutama Belanda. Kejayaan mereka adalah derita bagi orang Maluku. Di sinilah baru, orang mulai sadar akan perlunya sebuah revolusi rakyat. Sekalipun dengan darah.

Revolusi Maluku oleh Pattimura dkk di Saparua, 1817 sebenarnya sudah genggaman hasil. Benteng direbut dan residen dibunuh. Tapi revolusi itu gagal di tengah jalan. Sejarah bercerita tentang pengkhianatan dan eksekusi mati. Tapi inilah revolusi rakyat yang patut dikenang sepanjang masa, sebagai inspirasi yang tidak pernah kering.

Revolusi juga digagas wartawan dan politisi ulung Alexander Jacob Patty. Dengan Sarekat Ambon dan Jong Ambon, dia ikut dalam revolusi Indonesia. Buah keringat Patty dkk dan semesta Indonesia menuntut Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia yang begitu dibanggakan sampai sekarang.

Pada zaman orde lama, orde baru, orde reformasi, para pemimpin di Maluku selalu bicara di depan mike, di mimbarnya. Isi pidadonya sama saja. Maluku kita indah, Maluku kita kaya, potensinya limpah ruah. Hanya saja, uang kita sedikit, kuasa kita kecil, SDM kita lemah, teknologi kita rendah. Ditambah lagi, laut kita luas, kapal kita sedikit. Isi pidato para pemimpin kita, ya itu-itu jua. Kalau ke Jakarta, mereka tambah lagi promosinya. Orang miskin kita banyaaak. Orang sakit kita banyaaak, orang buta huruf banyaaak. Jadi perlu uang banyaaak.

Para juru bicara Maluku selalu membawa slogan Bung Karno : Indonesia tanpa Maluku bukanlah Indonesia. Juga fakta historis, Maluku adalah satu dari delapan provinsi pertama dan tertua di Indonesia. Mungkin itu pula, pemerintah pusat selalu mengalokasikan dana dalam jumlah tertentu kemari. APBN, DAK, DAU, Dana Inpres, dll, termasuk bantuan-bantuan langsung tunai.

Ke mana dana-dana itu mengalir ? Nah, aliran dana yang tidak transparan inilah yang membuat orang Maluku sekarang hidup dalam suasana penuh prasangka dan curiga. Sebagian dana kelihatan sampai ke tujuan sesuai peruntukannya, setelah melalui proses ruwet birokrasi, proses misterius korupsi, dan berliuk-liuk menyimpang.

Pecuna non olet. Uang tidak punya bau. Tapi aroma korupsi bisa tercium di tengah kolusi dan nepotisme para pengurus aliran uang. Wartawan, aktivis, polisi, jaksa, setiap hari mencium bau korupsi. Bau itu ada di kantor-kantor pemerintah, kantor DPRD, perusahaan-perusahaan swasta sebagai mitra korupsi strategis, sampai ke cukong-cukong. Rantai korupsi ini terbangun secara sistematis, mulai dari perencanaan, sudah ada korupsinya.

Sialnya, untuk memutus rantai korupsi, selalu terbentur bukti dan saksi. Sudah begitu, praktik suap-menyuap, koncoisme, diskriminasi hukum, mafia peradilan, semua ikut melegitimasi opini bahwa membongkar korupsi tidak gampang. Padahal, dengan kekuasaan yang dijamin undang-undang, maka DPRD, bawasda, polisi, jaksa bisa memaksa mengumpulkan bukti dan saksi demi kebenaran dan keadilan. Jadi, membongkar korupsi itu sebenarnya persoalan keciiil jika ada kuasa, seperti yang sudah ada pada institusi negara.

Soal korupsi, pemimpin eksekutif dan legislatif masa kini nampaknya tidak responsif. Media sudah lumayan angkat perang terhadap korupsi, dengan berita vulgar di sana-sini. Tapi para koruptor tetap saja lenggang kangkung. Menumpuk kekayaan dan memberi sedekah kepada orang miskin. Rakyat menyangka mereka dermawan tulen. Dan cukup banyak koruptor juga rajin memberi uang kepada wartawan sebagai sahabat supaya ujung pena wartawan sedikit tumpul.

Pemberantasan korupsi di Maluku, sebagian besar hanyalah wacana semata. Selebihnya adalah omong kosong. Tak ada realisasi. Kasus 38 pengungsi pembohong yang dilapor Walikota Ambon ke polisi, adalah sebuah prestasi sang walikota. Tapi kalau sampai 38 orang ini mendekam di dalam penjara, maka telah terjadi diskriminasi luar biasa apabila koruptor dana pengungsi yang lebih menggurita tidak ada di dalam penjara.

Percepatan pembangunan, recovery Maluku, semuanya berjalan begitu lambat. Dana pemulihan Maluku malah dipakai membangun rumah pembesar daerah. Janji-janji politik yang semanis madu itu, ternyata sepahit empedu. Apa mau dikata, itulah kalau politik bertakta sebagai panglima. Spirit anti korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) yang diusung angkatan reformasi telah mati di tangan mereka yang kini menikmati dan menggerakan kekuasaan reformasi.

Dalam situasi ini, rakyat Maluku perlu memberikan perlawanan dalam bentuk revolusi. Revolusi masa kini adalah revolusi damai, tanpa senjata, tanpa darah, tanpa air mata. Rakyat perlu menyusun agenda revolusi level papan bawah dengan kembali pada spiritualitas keringat sendiri.

Rakyat perlu menata kembali sistem ketahanan diri, keluarga dan komunitas kampung dan pulau. Membangun kembali semangat keswadayaan yang sudah pernah dibuktikan nenek-moyang orang Maluku. Keswadayaan komunitas etnis, agama, profesi, hobi, usia, dll perlu digalang sebagai kekuatan inti, supaya tidak merengek lagi pada APBD dan APBN yang selalu bocor. Juga tidak menuntut dana keserasian yang tidak serasi, dana pemberdayaan yang tidak memberdayakan, atau uang ganti rugi yang memang rugi.

Orang Maluku perlu kembali pada mentalitas asli, yakni orang yang selalu memberi dan bukan selalu meminta. Untuk bisa memberi, maka lumbung dan kantung orang Maluku harus terisi. Para petani, kembalilah menjadi petani ulang. Tanami setiap jengkal tanah dengan ubi, sayur, bumbu, tanaman obat, tanaman hias. Tanami lagi cengkeh-pala, jeruk, kelapa, durian, kenari, linggua, dan aneka pohon. Ternak juga unggas, kambing, sapi, babi, anjing. Nelayan-nelayan, bikin lagi sero dan bubu. Ambil kail lagi untuk menangkap ikan. Menarilah di atas meti, panen bia siput rumput laut.

Revolusi papan bawah dengan spirit keswadayaan akan membuat rakyat bangkit dari keterpurukan. Tanpa revolusi itu, orang Buru akan tetap miskin di depan ketel penyulingan minyak kayu putih nan wangi, orang Ambon Lease akan tetap miskin di tengah harumnya aroma cengkeh pala, orang Seram akan tetap miskin di atas gunung hijau, orang Tenggara tetap miskin dengan mutiara Arafuru, jeruk kisar, dan sebagainya.

Hanya dengan keswadayaan, revolusi papan bawah bisa bergerak dengan optimisme. Sebab dengan keswadayaan, akan hidup serentak tradisi gotong-royong, sasi, kewang, sistem demokrasi kampung, hukum adat dan segala sistem sosial tradisional yang kini sekarat. Begitu mesin keswadayaan bergerak dari kepala ke kepala, rumah ke rumah, kampung ke kampung dan pulau ke pulau, maka revolusi papan bawah sesungguhnya telah dimulai. Tanpa revolusi seperti ini, politik akan tetap menjadi panglima dan rakyat selalu menjadi obyek penderita.

Rakyat perlu memulai lagi dari nol, serentak secara berbudaya tanpa permusuhan. Supaya kelak kalau bertemu dengan seorang koruptor yang mengkhianati reformasi, tersenyumlah padanya. Taruhan, dia pasti mati tabadiri lalu meleleh seperti garam cair. Karena para koruptor sebenarnya orang-orang yang tidak berdaya, tidak punya keswadayaan. Mereka hanya kreatif di atas peluang kekuasaan yang cenderung korup itu. (rudifofid@gmail.com)

1 komentar:

Ngilngof Feletnai mengatakan...

Sebegitu menjanjikannya TANAH MALUKU sampai-sampai Menjadi konsentrasi dunia... Semua Bangsa inginkan MALUKU... Mungkin karna tak ingin Kehilangan Maluku... Maka Barat Menjajah... MALUKU memang PARADISE.