Perempuan Pemberani Itu Telah Pergi
PADA mulanya, Desiana Pattipeilohy alias Desi, hanyalah seorang perempuan biasa. Berangkat dari kampung halaman di Itawaka Saparua, dia pergi bekerja sebagai buruh pabrik kayu lapis di Batugong Ambon. Konflik sosial di Maluku tahun 1999 memaksanya mengungsi ke Kota Sorong.
Di Tanah Papua itulah, Desi berjumpa pujaan hatinya. Sebut saja namanya Pace, penduduk sorong tapi asli Ambon. Pace pernah hidup tanpa nikah dengan bekas pramuria di Sorong. Desi jualah yang mengantar Pace ke gerbang pernikahan.
Dari Sorong, pasangan Pace-Desi pergi ke Ternate, memulai hidup baru. Nahas, sebab di sana, Pace jatuh sakit. Sakitnya tidak sembuh-sembuh. Sebab itu, Desi memboyong Pace ke Ambon, tinggal di rumah orang tua Pace.
Sejak di Ternate maupun di Ambon, Desi selalu mengajak Pace berobat ke dokter. Tapi Pace berkeras hati. Sampai suatu saat, Desi juga jatuh sakit. Gejalanya mirip sekali dengan sakit Pace. Karena suaminya menolak ke dokter, Desi membawa dirinya sendiri ke rumah sakit. Alhasil, dokter menyarankan Desi memeriksakan darah. Test HIV dilakukan. Hasilnya, Desi positif terinfeksi virus maut tersebut.
Desi terpukul. Sebab, tidak pernah punya riwayat pergaulan bebas. Satu-satunya pasangannya adalah Pace, sang suami. Dalam situasi itu, diapun mengalami perlakuan menyakitkan. Seorang perawat di RS dr Haulussy sempat menyindir. ”Dulu sewaktu masih nona-nona, pacaran banyak ka apa ?” begitulah kata sang perawat.
Desi pulang ke rumah, membawa kabar hasil test darah kepada Pace dan mertuanya. Bukannya belas kasih yang didapat. Desi malah diusir dari rumah. Dia dituduh menjadi penyebab sakit suaminya, dan mengancam hidup orang seisi rumah.
Dengan air mata tumpah, Desi meninggalkan rumah Pace. Desi memilih tinggal di Passo. Tapi kabar Desi pengidap HIV cepat tersebar dari mulut ke mulut. Dua kali, Desi diusir para tetangga yang datang memberi ultimatum. Pertama kali dari rumah kos-kosan, berikutnya lagi dari rumah keluarga. Dalam situasi pahit itu, ibu kandungnya setia mendampingi.
Setelah merasa tak ada tempat berpijak di Ambon, sang ibu membawa putrinya ke kampung halaman di Itawaka. Desi hanya nyenyak dua malam di tanah kelahirannya sebab hari berikutnya, status dirinya sudah diketahui petinggi negeri. Mereka memberi ultimatum kepada Desi untuk angkat kaki dari rumahnya sendiri, dua kali 24 jam.
Kabar perlakuan terhadap Desi sampai di telinga dua pekerja sosial dari Lembaga Partisipasi Pembangunan Masyarakat (LPPM) Piet Wairisal dan Noni Tuharea. Piet dan Noni langsung meluncur ke Itawaka. Melalui pendekatan dengan pemerintah negeri dan pendeta setempat, keduanya diizinkan memberi penyuluhan kepada warga Itawaka di dalam gereja, seusai ibadah Minggu.
Setelah mendapat penjelasan bahwa kehadiran Desi di Itawaka tidak membawa ancaman penularan bagi siapapun, jemaat dan para petinggi negeri pun akhirnya batal mengusir Desi. Desi diterima sebagaimana adanya. Dia malah melaksanakan tugasnya memimpin ibadah di rumah warga.
Bukan saja warga Itawaka yang menerima Desi. Perlahan-lahan, warga desa tetangga, bahkan orang Saparua mengetahui statusnya. Desi tetap diterima penduduk Saparua saat dia ke gereja, pasar, naik angkutan umum, ojek dan sebagainya. Trauma mendapat perlakuan pahit di Ambon perlahan-lahan terhapus dengan perlakuan manis orang-orang Saparua.
Desi pun makin percaya diri dalam dampingan relawan LPPM. Sampai suatu saat, Desi melakukan langkah berani. Dia tampil di depan publik Ambon, dalam acara Malam Renungan AIDS tahun lalu. Desi naik ke podium Baileo Oikumene. Di hadapan para pejabat, tokoh masyarakat, tokoh agama, sesama ODHA, para waria, anak sekolah, dan wartawan, Desi mengumumkan statusnya sebagai ODHA. Sebuah testimoni yang dramatis sekaligus mengagumkan.
Inilah untuk pertama kalinya, seorang ODHA di Maluku berani menyatakan diri secara terang-terangan di depan publik. Maka bekas buruh pabrik tripleks itu pun menjadi bintang. Kilatan blitz fotografer, sorot kamera TV lokal dan nasional terfokus pada Desi. Tokoh seperti Rury Munandar dan Mercy Barends mencium pipi Desi, ketika dia selesai memberi kesaksian dirinya. Untuk pertama kali pula, nama asli seorang ODHA diizinkan untuk ditulis tanpa initial atau nama samaran. Desi tidak keberatan nama dan wajahnya nongol di TV atau koran.
Saat itu, Desi berjanji membaktikan dirinya untuk sesama ODHA dan ikut mencegah penularan HIV-AIDS di Maluku. Dia berharap, dengan menyatakan diri di hadapan umum, semakin banyak orang terinspirasi menghindari diri dari ancaman HIV-AIDS. Maka melalui LPPM, Desi sempat tampil dalam suatu forum nasional. Aktivitasnya sebagai ODHA dipamerkan di Jakarta, dan banyak orang belajar dari kasus Desi.
Tapi begitulah jalan hidup Desi. Rasa cinta dan rindu pada Pace, sang suami membuat dia tidak bisa tenang. Dari sekadar rindu-dendam, Desi kemudian mengalami stress berat. Dia akhirnya dirawat di Rumah Sakit Jiwa di Nania. Dalam situasi itu, kerinduan untuk bertemu Pace tidak kesampaian. Tak satupun keluarga Pace datang menjenguk, sampai akhirnya Desi pun dipanggil Tuhan. Pemakamannya di Galala, Juli lalu, tidak dihadiri satu pun orang penting. Juga tak ada publikasi sama sekali. Mungkin karena tidak ada informasi, atau heroisme Desi tidak diperhitungkan sebagai tindakan kepahlawanan seorang srikandi.
Desi pernah hadir memberi arti di tengah diskriminasi yang pernah dialami para ODHA. Sayang, menjelang Hari AIDS Sedunia 1 Desember mendatang, Desi sudah tak ada di sini. Semoga dia sudah sampai di sebuah rumah yang Maha Damai. (rudi fofid)
PADA mulanya, Desiana Pattipeilohy alias Desi, hanyalah seorang perempuan biasa. Berangkat dari kampung halaman di Itawaka Saparua, dia pergi bekerja sebagai buruh pabrik kayu lapis di Batugong Ambon. Konflik sosial di Maluku tahun 1999 memaksanya mengungsi ke Kota Sorong.
Di Tanah Papua itulah, Desi berjumpa pujaan hatinya. Sebut saja namanya Pace, penduduk sorong tapi asli Ambon. Pace pernah hidup tanpa nikah dengan bekas pramuria di Sorong. Desi jualah yang mengantar Pace ke gerbang pernikahan.
Dari Sorong, pasangan Pace-Desi pergi ke Ternate, memulai hidup baru. Nahas, sebab di sana, Pace jatuh sakit. Sakitnya tidak sembuh-sembuh. Sebab itu, Desi memboyong Pace ke Ambon, tinggal di rumah orang tua Pace.
Sejak di Ternate maupun di Ambon, Desi selalu mengajak Pace berobat ke dokter. Tapi Pace berkeras hati. Sampai suatu saat, Desi juga jatuh sakit. Gejalanya mirip sekali dengan sakit Pace. Karena suaminya menolak ke dokter, Desi membawa dirinya sendiri ke rumah sakit. Alhasil, dokter menyarankan Desi memeriksakan darah. Test HIV dilakukan. Hasilnya, Desi positif terinfeksi virus maut tersebut.
Desi terpukul. Sebab, tidak pernah punya riwayat pergaulan bebas. Satu-satunya pasangannya adalah Pace, sang suami. Dalam situasi itu, diapun mengalami perlakuan menyakitkan. Seorang perawat di RS dr Haulussy sempat menyindir. ”Dulu sewaktu masih nona-nona, pacaran banyak ka apa ?” begitulah kata sang perawat.
Desi pulang ke rumah, membawa kabar hasil test darah kepada Pace dan mertuanya. Bukannya belas kasih yang didapat. Desi malah diusir dari rumah. Dia dituduh menjadi penyebab sakit suaminya, dan mengancam hidup orang seisi rumah.
Dengan air mata tumpah, Desi meninggalkan rumah Pace. Desi memilih tinggal di Passo. Tapi kabar Desi pengidap HIV cepat tersebar dari mulut ke mulut. Dua kali, Desi diusir para tetangga yang datang memberi ultimatum. Pertama kali dari rumah kos-kosan, berikutnya lagi dari rumah keluarga. Dalam situasi pahit itu, ibu kandungnya setia mendampingi.
Setelah merasa tak ada tempat berpijak di Ambon, sang ibu membawa putrinya ke kampung halaman di Itawaka. Desi hanya nyenyak dua malam di tanah kelahirannya sebab hari berikutnya, status dirinya sudah diketahui petinggi negeri. Mereka memberi ultimatum kepada Desi untuk angkat kaki dari rumahnya sendiri, dua kali 24 jam.
Kabar perlakuan terhadap Desi sampai di telinga dua pekerja sosial dari Lembaga Partisipasi Pembangunan Masyarakat (LPPM) Piet Wairisal dan Noni Tuharea. Piet dan Noni langsung meluncur ke Itawaka. Melalui pendekatan dengan pemerintah negeri dan pendeta setempat, keduanya diizinkan memberi penyuluhan kepada warga Itawaka di dalam gereja, seusai ibadah Minggu.
Setelah mendapat penjelasan bahwa kehadiran Desi di Itawaka tidak membawa ancaman penularan bagi siapapun, jemaat dan para petinggi negeri pun akhirnya batal mengusir Desi. Desi diterima sebagaimana adanya. Dia malah melaksanakan tugasnya memimpin ibadah di rumah warga.
Bukan saja warga Itawaka yang menerima Desi. Perlahan-lahan, warga desa tetangga, bahkan orang Saparua mengetahui statusnya. Desi tetap diterima penduduk Saparua saat dia ke gereja, pasar, naik angkutan umum, ojek dan sebagainya. Trauma mendapat perlakuan pahit di Ambon perlahan-lahan terhapus dengan perlakuan manis orang-orang Saparua.
Desi pun makin percaya diri dalam dampingan relawan LPPM. Sampai suatu saat, Desi melakukan langkah berani. Dia tampil di depan publik Ambon, dalam acara Malam Renungan AIDS tahun lalu. Desi naik ke podium Baileo Oikumene. Di hadapan para pejabat, tokoh masyarakat, tokoh agama, sesama ODHA, para waria, anak sekolah, dan wartawan, Desi mengumumkan statusnya sebagai ODHA. Sebuah testimoni yang dramatis sekaligus mengagumkan.
Inilah untuk pertama kalinya, seorang ODHA di Maluku berani menyatakan diri secara terang-terangan di depan publik. Maka bekas buruh pabrik tripleks itu pun menjadi bintang. Kilatan blitz fotografer, sorot kamera TV lokal dan nasional terfokus pada Desi. Tokoh seperti Rury Munandar dan Mercy Barends mencium pipi Desi, ketika dia selesai memberi kesaksian dirinya. Untuk pertama kali pula, nama asli seorang ODHA diizinkan untuk ditulis tanpa initial atau nama samaran. Desi tidak keberatan nama dan wajahnya nongol di TV atau koran.
Saat itu, Desi berjanji membaktikan dirinya untuk sesama ODHA dan ikut mencegah penularan HIV-AIDS di Maluku. Dia berharap, dengan menyatakan diri di hadapan umum, semakin banyak orang terinspirasi menghindari diri dari ancaman HIV-AIDS. Maka melalui LPPM, Desi sempat tampil dalam suatu forum nasional. Aktivitasnya sebagai ODHA dipamerkan di Jakarta, dan banyak orang belajar dari kasus Desi.
Tapi begitulah jalan hidup Desi. Rasa cinta dan rindu pada Pace, sang suami membuat dia tidak bisa tenang. Dari sekadar rindu-dendam, Desi kemudian mengalami stress berat. Dia akhirnya dirawat di Rumah Sakit Jiwa di Nania. Dalam situasi itu, kerinduan untuk bertemu Pace tidak kesampaian. Tak satupun keluarga Pace datang menjenguk, sampai akhirnya Desi pun dipanggil Tuhan. Pemakamannya di Galala, Juli lalu, tidak dihadiri satu pun orang penting. Juga tak ada publikasi sama sekali. Mungkin karena tidak ada informasi, atau heroisme Desi tidak diperhitungkan sebagai tindakan kepahlawanan seorang srikandi.
Desi pernah hadir memberi arti di tengah diskriminasi yang pernah dialami para ODHA. Sayang, menjelang Hari AIDS Sedunia 1 Desember mendatang, Desi sudah tak ada di sini. Semoga dia sudah sampai di sebuah rumah yang Maha Damai. (rudi fofid)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar